MEMAKNAI HARI PERHENTIAN SABAT DALAM KONTEKS KEKINIAN

MEMAKNAI HARI PERHENTIAN SABAT DALAM KONTEKS KEKINIAN

Oleh Yakobus Kristiyono, M.Div

 

Pendahuluan

Ditinjau dari segi historis  “hari Sabat”  merupakan salah satu topik utama dan kontroversial dalam perjalanan umat kristen dari abad ke abad. Hari Sabat menjadi tema utama karena merupakan salah satu perintah Dekalog (hukum ke-empat dalam sepuluh perintah Allah, Keluaran 20:4), dan menjadi kontroversial karena terdapat muatan teologis sehingga muncul beragam pandangan bahkan paradoks. Diskusi-diskusi yang seharusnya berlangsung dengan ramah berubah menjadi saling tuduh, saling mengkritik, ketakutan (sebagian terhadap legalisme dan sebagian lagi terhadap sikap mengabaikan hukum). Salah seorang penulis penulis menggambarkan kontroversi tentang Sabat sebagai “salah satu pertengkaran keluarga yang terlama”.[1]

Perbedaan pengertian dan penerapan tentang hari Sabat pada masa kini di sebabkan karena penafsiran makna dari tema hari Sabat di dalam Alkitab. Karena itu pentingnya mencermati makna-makna teologis dari tema tersebut berdasarkan prinsip-prinsip biblika dan kemudian merelevansikan ke dalam dinamika kehidupan gereja masa kini.

Permulaan Sabat

Secara epitomologis, istilah hari Sabat dalam Alkitab pertama kali muncul di Keluaran 16:22-30 ketika orang Israel berada di padang gurun Sin. Saat itu Allah memberikan Manna kepada Israel sebagai makanan harian dan lewat Musa memerintahkan mereka memungutnya setiap hari, kecuali hari ketujuh yang oleh Allah di sebut “Sabat”. Secara konseptual, “Sabat” dalam teks tersebut di atas dapat disejajarkan dengan tindakan Allah berhenti dari karya penciptaan pada hari ketujuh (Kejadian 2:1-3), serta dianggap sebagai persiapan bagi umat Israel untuk menerima perintah menjalankan hari sabat lewat Dekalog yang diberikan Allah ketika mereka tiba di gunung Sinai (Keluaran 20:8-11). Selanjutnya, tema “hari Sabat” secara konsisten muncul sebagai sebuah tema yang terus berkembang dalam sebuah kerangka berkesinambungan yang menembus waktu, perjalanan sejarah dan bentuk kesusastraan Alkitab, baik Perjanjian Lama[2] maupun Perjanjian Baru[3].

Jadi konsep “hari Sabat” dimulai dari Allah pada masa penciptaan alam semesta dan disampaikan kepada bangsa Israel serta diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain sampai kepada zaman Perjanjian Baru.[4]

 

Penghayatan Umat Israel Tentang Hari Sabat

Berdasarkan penelusuran atas teks-teks Alkitab yang membicarakan tema hari sabat, dapat ditemukan sebuah pokok pikiran utama yang dapat mengakomodasi makna hari sabat, yakni hari sabat adalah hari perhentian. Ini merupakan suatu konsep yang sering muncul berdampingan dengan perintah untuk menjalankan hari Sabat di Perjanjian Lama. Konsep ini muncul dengan jelas dalam teks pertama di dalam Alkitab yang memperkenalkan tema hari Sabat kepada bangsa Israel di Keluaran 16:21-30. Dalam bagian ini hari Sabat diperkenalkan sebagai hari perhentian penuh (ayat 23), yakni hari dimana orang Israel tidak boleh melakukan pekerjaan dapur (yakni membakar dan memasak), tidak perlu kelaur untuk memungut Manna (ayat 26), dan tidak boleh meninggalkan tempat tinggalnya (ayat 29). Alasan perhentian ini adalah selama enam hari sebelum orang Isarel sudah melakukan semua kegiatan tersebut, sehingga hari ketujuh adalah hari perhentian bagi mereka (ayat 22,26).

Konsep perhentian juga menjadi alasan bagi bangsa Isarel untuk menjalankan hari sabat dalam perintah keempat dari Dekalog (Keluaran 20:8-11, Ulangan 5:12-15). Dalam perintah ini, Allah memerintahkan bangsa Israel beserta seisi rumahnya (dari isteri, anak cucu,hamba sampai kepada ternak) untuk tidak bekerja pada hari ketujuh (Keluaran 20:10, Ulangan 5:14). Selain itu, perintah untuk berhenti melakukan pekerjaan muncul dalam bentuk-bentuk yang berbeda, misalnya: perintah untuk berhenti mempersiapkan Kemah Suci dan segala perlengkapannya (Keluaran 31:12-17), larangan untuk melakukan transaksi jual beli di kota Yerusalem (Nehemia 13:15), dan larangan untuk mengangkut barang-barang keluar masuk kota Yerusalem (Yeremia 17:22).

Bertolak dari beberapa teks di atas dapat disimpulkan bahwa  hari sabat identik dengan hari perhentian, dimana setiap orang harus menghentikan semua pekerjaan, termasuk di dalamnya membajak, menuai, memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Alkitab secara eksplisit memberikan dua alasan mengapa orang Israel harus memiliki perhentian pada hari sabat.

  1. Dalam Keluaran 20:11, Allah menjadikan tindakanNya berhenti dari karya penciptaan Alam semesta pada hari ketujuh sebagai dasar untuk memerintahkan orang Isarel berhenti dari pekerjaan di hari ketujuh. Ketika Allah mengadakan perhentian dari karya penciptaan di hari ketujuh, Ia memberkati hari ketujuh dan menguduskannya (Kejadian 2:3). Pada saat memberikan perintah untuk menjalankan hari sabat, Ia memberkati dan menguduskan hari sabat (Keluaran 20:11). Dengan demikian, Alkitab menyamakan hari ketujuh dan hari sabat, karena sama-sama hari yang diberkati dan dikuduskan Allah. Ketika bangsa Israel menjalankan hari sabat, mereka diingatkan akan hari ketujuh yang pada gilirannya akan menuntun ingatan mereka kepada Allah yang berhenti dari karya pencipataan alam semseta pada hari tersebut. Dengan kata lain, hari Sabat merupakan berkat yang Allah berikan kepada bangsa Israel/ Berkat ini memberikan perhentian dari pekerjaan yang sekaligus mengantar bangsa Israel  kepada ingatan akan Allah serta menghasilkan sebuah persekutuan dalam dimensi vertikal antara umat Israel dengan Allah.[5] Secara konkrit , persekutuan ini di wujudkan dalam sebuah ibadah yang penuh sukacita karena bangsa Israel telah memasuki sebuah hari yang diberkati dan dikuduskan Allah.[6] Pada saat yang sama, ibadah tersebut juga merefleksikan sebuah pengakuan bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang memiliki dan memelihara alam semesta beserta segala isinya, termasuk bangsa Israel.[7]

 

  1. Perintah Allah agar orang Israel memiliki perhentian pada hari Sabat terdapat pada Ulangan 5:15, yakni supaya mereka mengingat bahwa dulu mereka adalah budak di Mesir dan Allah telah melepaskan mereka keluar dari perbudakan. Mereka perlu mengingat anugerah Allah dengan memberikan perhentian dari pekerjaan kepada anggota keluarga, termasuk para budak, orang asing, binatang dan ternak.[8]

Dengan demikian menjalankan hari sabat adalah mengadakan perhentian dari segala pekerjaan. Alasan perhentian ini adalah agar bangsa Israel di dalam sebuah persekutuan yang penuh sukacita mengakui Allah sebagai pencipta yang memelihara dan memiliki mereka. Selain itu, perhentian juga merupakan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dengan melakukan kebaikan kepada sesama.

Penghayatan Hari Sabat Dalam Perjanjian Baru

Motif menjalankan hari sabat dengan mengadakan perhentian ini menembus waktu dan sejarah dan nampak lagi dalam pengajaran tentang makna hari sabat di Perjanjian Baru, khususnya dalam kehidupan dan pengajaran Yesus. Kitab Injil mencatat enam insiden dimana Yesus Kristus “bermasalah” dengan para pemimpin agama Yahudi dalam hal memaknai hari sabat (Matius 12:1-5, Matius 12:9-14, Lukas 13:10-17, Lukas 14:1-6, Yohanes 5:1-18, Yohanes 9:1-41). Dalam pengajaranNya Yesus menyatakan bahwa Ia tidak meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi melainkan menggenapinya (Matius 5:17-18). Artinya, kedatanganNya membawa sebuah pengertian dan penerapan yang baru terhadap makna sabat, yang kemudian menjadi penyulut pertentangan antara Ia dan para pemimpin agama Yahudi.

Dari respon yang diberikan Yesus dapat disimpulkan bahwa hari sabat di adakan untuk manusia, sehingga di hadapan Allah manusia lebih penting dari pada hari sabat, oleh sebab itu makna perhentian hari sabat boleh diubadah demi kebaikan manusia dan Yesus Kristuslah yang berhak mengubahnya karena Ia adalah Tuhan atas hari Sabat. Dengan demikian Yesus tidak mengubah esensi hari sabat sebagai berkat yang Allah berikan bagi manusia. Tetapi yang di ubah adalah makna baru yang diajarkan olehNya. Dengan kata lain, perhentian hari sabat yang ditawarkan olehNya adalah berbeda dengan perhentian yang ditawarkan lewat perintah Allah di Perjanjian Lama. Perhentian yang ditawarkan Yesus adalah perhentian yang diberikan dalam kapasitas-Nya sebagai Tuhan atas hari sabat.

Implementasi Makna Hari Sabat Konteks Gereja Masa Kini

Paul Hidayat dalam “Hidup Dalam Ritme Allah”[9] memberikan beberapa prinsip kebenaran Alkitab dalam kaitannya dengan pemaknaan hari Sabbat dalam konteks masa kini: Pertama, bahwa kita berhenti bekerja bukan semata demi manfaat fisik dan psikis yg kita peroleh dari beristirahat melainkan karena mensyukuri Allah yang telah memberi teladan ketika Ia berhenti (Sabbath) mencipta dan menghormati Dia yang telah menyediakan hari perhentian itu agar kita dapat akrab dengan-Nya. Sebab itu yang harus di dahulukan adalah Tuhan sebagi prinsip rohaninya.

Kedua, Sabat adalah hari untuk kita mengingat sang Pencipta dan Penebus. Sesudah membebaskan Israel dari Mesir, Allah memberikan hari sabat. Sesudah bangkit dari kematian tanda bahwa tugas penebusanNya tuntas, Yesus Kristus di rayakan umatNya di hari Minggu, hari kebangkitanNya. Selanjutnya bahwa Sabat mengjarkan kita untuk beristirahat sehari dalam sminggu. Hari dimana kita tidak diatur oleh kegiatan pribadi  tetapi oleh Tuhan atas waktu.

Kesimpulan

Dari penelusuran atas makna hari sabat berdasarkan teologi biblika maka makna hari sabat di PL bermakna, mengadakan perhentian dari segala pekerjaan oleh semua anggota keluarga, termasuk orang asing, budak dan binatang peliharaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyentuh dimensi vertikal agar umat Israel mengenang Allah untuk mengadakan persekutuan yang penuh sukacita denganNya dan mengakui Allah sebagai pencipta yang mengatur, memelihara dan memiliki segala sesuatu, termasuk umat Israel. Disamping itu juga ada kaitannya dimensi horisontal yang mengingatkan bangsa Israel bagaimana Allah telah melepaskan mereka dari penderitaan sebagai budak di masa lampau, sehingga mereka juga memberikan perhentian kepada seisi keluarganya.

Dalam PB dinyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat, Ini berarti Yesus Kristus memiliki otoritas untuk mengubah makna dari hari Sabat.  Makna perhentian hari sabat yang diberikan-Nya adalah perhentian sebagai hasil dari kelepasan dari beban dosa dan perhentian eskatologis yang akan diterima semua orang percaya dalam dunia kekal di sorga.

Implementasi perintah melaksanakan hari sabat bagi umat Tuhan masa kini adalah perintah untuk mengadakan hari perhentian sebagai kesempatan untuk beribadah, melayani Allah dan sesama serta bersekutu dengan sesama.

 

—-

[1] J.H. Primus, “Calvin and the Puritan Sabbat: a Comparative Study,” dalam Exploring the Heritage of  John Calvin, ed. D.E. Holwerda (Grand Rapids: Baker, 1976) hlm. 40

[2] Dalam Pentateukh (Imamat 24:8; Bilangan 28:9-10; Ulangan 15:32-36), dalam kitab-kitab Sejarah (2 Raja-Raja 4:25; 16:18; 2 Tawarikh 2:4; nehemia 10:31-33); dalam kitab Puisi (Mazmur 92:1); dan dalam kitab para Nabi (Yesaya 1:13; 56:2,6; Yeremia 17:21-27; Yehezkiel 46:1-12; Amsal 8:5)

[3] Dalam Injil (Matius 12:1-12; Markus 2:23-28; Lukas 6:1-11; Yohanes 5:1-18); dalam kitab Sejarah (Kisah Para Rasul 1:12; 13:14, 27,42,44; 18:4) dan dalam surat-surat (Kolose 2:16).

[4] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bible, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007) hlm 393.

[5] Harorld H.P. Dressler, The Sabbath in the Old Testament dalam From Sabbath to Lord’s Day: A Biblical, Historical and Theological Investigation (ed. D.A. Carson: Gramd Rapids: Zondervan, 1982),hlm. 27

[6] D.A. Rausch, “Sabbath” dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell: Grand Rapids: Baker, 1984), hlm 964

[7] Craig J. Slane, “Sabbath” dalam Evangelical Dictionary of Biblical Theology (ed. Walter A. Elwell: Grand Rapids, 1996), hal. 697.

[8] Paul Hidayat, Hidup Dalam Ritme Allah, (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005), hlm. 45.

[9] Paul Hidayat, hlm. 51-53.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *